****__ Selamat Datang & Terimakasih sudah mengunjungi blog kami__ ****

Ngeblog bareng yuuks biar tambah wawasan ... ****

Senin, 03 Mei 2010

AKSELERASI TRANSFORMASI POLRI


AKSELERASI TRANSFORMASI POLISI MENUJU POLRI YANG MANDIRI, PROFESIONAL DAN DIPERCAYA MASYARAKAT

Kondisi Kepolisian Republik Indonesia ( POLRI ) pada saat ini masih mempunyai kekurangan tetapi saya rasakan cukup membanggakan, sebagai hasil kerja keras dari para senior pendahulu Polri sehingga merupakan kewajiban saya untuk memelihara kondisi yang baik tersebut untuk melanjutkan mengaklerasikan peningkatan kinerja dalam rangka proses transformasi Polri ke depan menuju Polri yang profesional, bermoral dan modern serta dipercaya masyarakat.

Sejak reformasi bergulir, secara simultan program  pembangunan Polri terlaksana sejajar dengan program pembangunan nasional, dengan titik berat pada pembangunan instrumental, struktural dan kultural. Harus jujur diakui bahwa pembangunan ketiga aspek tersebut masih belum sepunuhnya memenuhi harapan masyarakat, terutama pembangunan pada aspek struktural. Fungsi Polri dituntut untuk memberikan hasil akhir berupa terwujudnya rasa aman masyarakat dan terciptanya keamanan dalam negeri yang meliputi terpiliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Untuk mencapai hasil akhir, Polri tidak dapat bekerja sendiri, tetapi memerlukan suatu kerjasama dan kemitraan yang erat dengan masyarakat serta elemen masyarakat lainnya seperti Instansi Pemerintahan dan organisasi profesional pelibatan masyarakat diperlukan karena sejatinya akar permasalahan Kamtibmas ada dan berkembang dalam masyarakat. Kemitraan dengan masyarakat menjadi model pemolisian yang lebih bersifat preventif ( community policing ), dan memerlukan "trust" dari masyarakat. Kemitraan lainnya juga diperlukan dengan TNI, sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengamanatkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Polri dapat meminta bantuan TNI, dan sebaliknya dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Polri memberikan bantuan kepada TNI.

Sebagaimana lazimnya sebuah organisasi modern dalam rangka berupaya mencapai hasil akhir, Polri membutuhkan seorang pimpinan utnuk menjalankan roda organisasinya, dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( Kapolri ). Sebagai sebuah posisi yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap dinamika organisasi Polri, maka posisi Kapolri sangat strategis dalam menentukan keberhasilan Polri guna menjawab segala tantangan yang ada saat ini, esok maupun di masa depan. Inilah yang disebut dengan akuntabilitas eksternal ( external accountability ) pada sebuah organisasi.

Posisi Kapolri juga akan menentukan dan sekaligus bertanggung jawab terhadap perfoma setiap personil dalam organisasi Polri. Profesionalitas Polri, sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan peran Polri, tentu akan memberikan dampak positif. Di sisi lain, perfoma ynag rendah dan tindakan yang menyimpang, akan merugikan Polri baik secara parsial maupun institusional. Kapolri harus bertanggunmg jawab dan melakukan pembinaan lebih jauh atas hal ini . inilah yang disebut dengan akuntabilitas internal ( internal accountability ) pada sebuah organisasi.

Setiap pimpinan organisasi di manapun di dunia ini, pasti tidak akan terlepas dari akuntabilitas eksternal serta internal. Kedua akuntabilitas ini juga dijadikan acuan dalam menyusun program kerja ke depan mengacu kepada akuntabilitas eksternal dan internal tersebut.

Program ini saya sebut dengan TIGA PROGRAM AKSELERASI UTAMA. Jadi ada tiga pekerjaan besar yang akan saya lakukan ke depan, jika diberi amanah untuk mengemban jabatan Kapolri, ketiga program tersebut adalah :

1. Keberlanjutan program atau program sustainability.

2. Peningkatan kualitas kinerja atau performa quality improvements.

3. Komitmen terhadap organisasi atau organization commitment.


Ketiga program akselarasi utama tersebut merupakan kesatuan yang utuh, ibarat sebuah tombak trisula yang siap melejit menuju sasarannya serta saling mendukunga satu dengan yang lain sehingga saling kuat.

PROGRAM AKSELERASI 1 : KEBERLANJUTAN PROGRAM ORGANISASI ( ORGANIZATION PROGRAM SUSTAINABILITY )

Pada program ini, terdapat dua hal utama, yaitu melanjutkan visi dan misi Polri, serta melanjutkan program prioritas sebelumnya. Dalam kehidupan berorganisasi, keberlanjutan atau kesinambungan merupakan salah satu syarat mutlak. Jika setiap ganti pimipinan selalu ganti visi, misi dan program, maka bisa dipastikan organisasi mengalami discontinuity dan ini jelas tidak baik. Walaupuin demikian, terobosan-terobosan batu pun akan saya lakukan, dan akan dijelaskan pada program akselerasi kedua nantinya.

MELANJUTKAN VISI DAN MISI POLRI

Memandang posisi KApolri ke depan, seakan-akan juga memandang bagaimana institusi Kepolisian nasional ini akan di bawa. Semua itu dirancang dalam program kerja Kapolri ke depan yang diantaranya telah dirumuskan dalam bentuk Grand Stategi Polri ( 2005 - 2025 ), pemantapan visi dan misi Polri, dan kebijakan implementasi.

Perumusan Grand Strategi POlri 2005 - 2025 mencerminkan upaya Polri secara gradual untuk mencapai hasil akhir tugas dan fungsi Polri, yang dibagi dalam 3 tahap :
1. Tahap I Trust Building ( 2005 - 2025 )
Keberhasilan Polri dalam menjalankan tugasnya memerlukan dukungan dan kerjasama masyarakat dengan landasan kepercayaan ( trust ).
2. Tahap II Partnership Building ( 2010 - 2014 )
Merupakan kelanjutan dari tahap I, dimana perlu dibangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri.
3. Tahap III Strive Excellence (2016 - 2025 )
Membangun kemampuan pelayanan public yang unggul dan dipercaya masyarakat. Pada tahap ini kebutuhan masyarakat akanlebih mengharapkan pelayanan multi dimensional yang efektif dan efisein.

Kemudian pedoman Polri juga telah merumuskan visi Polri yaitu :


" Terwujudnya Postur Polri yang professional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat yang terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hokum ".

Sedangkan secara sistematis misi Polri adalah sebagai berikut :
1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, tanggap/progresif dan tidak diskriminatif agar masyarakat bebas dari segala bentuk gangguan fisik dan psikis.
2. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sepanjang waktu di seluruh wilayah serta memfasilitasi keikutsertaan masyarakat dalam memelihara kamtibmas di lingkungan masing-masing.
3. Memelihara kamtibcarlantas untuk menjamin keselamatan dan kelancaran orang dan barang.
4. Mengembangkan perpolisian masyarakat ( Community Policing ) berbasis pada masyarakat patuh hukum ( Law Abiding Citizen ).
5. Menegakkan hukum secara profesional dan obyektif, proporsional, transparan dan akuntabel untuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
6. mengelola secara profesional, transparan dan akuntabel seluruh sumber daya Polri guna mendukung keberhasilan tugas Polri.

Berdasarkan visi dan misi tersebut, maka kebijaksanaan implementasi juga telah dirumuskan yang mencakup 6 bidang meliputi :
1. Penyempurnaan Grand Strategi Polri 2005-2025, yang tidak menitik beratkan pada pencitraan polri semata, tetapi juga memperhatikan aspek aspek keamanan dalam negeri secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan tuntutan kebutuhan masyarakat dan tantangan global termasuk pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
2. Melanjutkan upaya pemeliharaan dan peningkatan Sabilitas Kamtibmas melalui program penanggulangan 4 (empat) jenis kejahatan serta akseterasi perpolisian masyarakat.
3. Meningkatkan peran dan pemberdayaan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Polri untuk melakukan kajian dan analisis dampak perkembangan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas pokok Polri.
4. Mengintensifkan pemanfaatan teknoiogj Informasi dai komunikasi untuk mewujudkan eflsiensi, transparansi dan akuntabilitas.
5. Meningkatkan kerjasama dalam dan luar negeri dalam menghadapi perkembangan dan permasalahan global dengan prinsip kebersamaan dan kemitraan yang saling menguntungkan.
6. menggali kearifan lokal masyarakat dan kearifan internal yang diimbangi dengan kemampuan manajerial Pimpinan Polri.

Secara prinsip, semua masih sangat relevan dengan kondisi sekarang, maupun kondisi yang akan kita hadapi bersama ke depan. Jika kita amati dengan seksama, kendati sudah banyak kemajuan yang diraih melalui program yang dilakukan untuk mencapai visi dan misi tersebut oleh Kapolri sebelumnya, tetapi masih harus diakui masih banyak ruang yang terbuka bagi investasi maupun pembenahan yang harus dilakukan oleh Kapolri yang baru. Memang pada organisasi manapun, tidak ada visi dan misi yang bisa dicapai secara instan. Semuanya harus dilakukan tahap demi tahap, bahkan seringkali mengalami beberapa pergantian kepemimpinan organisasi.

Bersama ini saya ingin menegaskan bahwa saya tidak akan mengubah visi dan misi polri yang sudah ada tersebut, tetapi akan menjalankan program prioritas baik yang sudah dirintis oleh Kapolri sebelumnya, ditambah dengan apa yang menurut saya masih perlu mendapatkan perhatian khusus maupun revitalitas dan akselaritas ke depan.

Dengan menganalisa perjalanan sejarah polri, baik pencapaian yang lebih diraih maupun kekurangan yang mesti dibenahi, maka saya mempunyai program kerja prioritas untuk membawa Polri menjadi organisasi pelayanan publik yang semakin profesional, berintergritas dan berkualitas dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakana hukum, memberikan perlindungan, pengayoman,dan pelayanan prima kepada masyarakat, serta memiliki kemampuan untuk terus berkembang, bermitra dengan berbagai pihak dan mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi.


Dalam periode sebelumnya, polri telah meletakan landasan yang kokoh melalui berbagai upaya reformasi di internal Polri, dimana hal tersebut tealh membuat Polri semakin kuat dalam melakukan fungsinya untuk memberantas segala bentuk tindakan terorisme dan lain sebagainya. Hal ini akan terus ditingkatkan dan secara simulan melengkapi dengan fokus peningkatan kualitas yang semakin tinggi, baik dalam hal sumber daya manusia maupun proses kerja.

Bagi saya, Polri ke depan harus semakin baik dalam menampilkan dua wajah, yaitu di satu sisi "wajah tegas" nya semakin kuat dan kokoh dalam memberantas dan menanggulangi pelanggar-pelanggar hukum, terutama tindak kejahatan yang merugikan keuangan negara dan meresahkan masyarakat seperti korupsi, perjudian, narkoba, pembalakan liar dan lain-lain.

Namun juga di sisi yang lain menampilkan "wajah harmonis" nya dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang membutuhkan berbagai pelayanan kepolisian.

MELANJUTKAN PROGRAM KERJA PRIORITAS

Pada awal kepemimpinannya, Jenderal Polisi Drs. Sutanto mencanangkan sejumlah program untuk masa kepemimpinannya, dan prioritas program difokuskan pada isu-isu berikut ini:


* Perjudian. Penindakan terhadap berbagai bentuk perjudian akan tetap dilaksanakan secara konsisten tanpa pandang bulu, karena ini merupakan bukti dari keseriusan Polri untuk mengatasi perjudian.

* Narkotika dan sejenisnya. Narkotika dan sejenisnya merupakan isu yang cukup signifikan juga bagi Polri. Badan Narkotika National (BNN) mencatat bahwa di Indonesia sekitar empat juta jiwa sekarat mengidap ketergantungan narkoba dan Rp. 30 triliun melayang akibat praktek penyalahgunaan Narkoba. Setiap tahunnya sekitar 15 ribu jiwa tewas sia-sia, Indonesla tak lagi jadi sekedar transit perdagangan barang haram ini, tetapi juga menjadi pasar potensial sekaligus produsen narkoba. Oleh karena itu penanggulangan dan pemberantasan Narkoba akan menjadi prioritas Polri ke depan.

* Terorisme.Tertangkapnya sejumlah pelaku aksi terorisme di Indonesia buakn berarti bahwa aksi terorisme di Indonesia tealh berakhir. Dalam konteks global, terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Polri tidak akan pernah berhenti memerangi terorisme dan adalah kebanggaan bagi Indonesia bahwa konsep deradikalisasi yang diperkenalkan Polri tealh diadopsi oleh beberapa negara dalam rangka pemberantsan terorisme.

* Kejahatan yang berpotensi merugikan kekayaan negara ( korupsi, illegal logging, illegal fishing dan illegal minning ). Penindakan terhadap kejahatan bentuk ini akan dilaksanakan maksimal sepanjang tahun untuk menyelamatkan kekayaan negara yang selama ini dinikmati hanya oleh oknum tertentu.

* Kejahatan jalanan. Kejahatan jalanan merupakan isu yang paling mendasar bagi Kapolri kedepan. Penindakan kejahatan ini menjadi prioritas oleh karenanya dampaknya langsung dirasakan masyarakat luas.

* Perdagangan orang ( Trafficking ). Polri akan terus melakukan upaya penanggulanggan dan pemberantasan tindak pidana ini karena menyadari bahwa ada terkait dengan elemen dan pengiriman TKI yang mendatangkan devisa bagi negara, yang biasanya merupakan pintu awal tindak pidana ini.

* Reformasi Polri. Reformasi polri bukan suatu proses yang bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek, namun juga bukan ditempuh dalam jangka wakru yang tidak terbatas. Tahun 2015 merupakan awal bagi wujud nyata berhasil atau tidaknya reformasi Polri. Oleh karena itu, sejumlah langkah akselerasi dan pelengkapan bagi reformasi polri perlu segera dilakukan, terutama dalam hal reformasi kultural dan penggalangan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak.

Untuk mendukung akselerasi keberlanjutan program prioritas tersebut di atas, maka saya merencanakan juga beberapa program untuk meningkatkan kinerja Polri, dengan tetap berpegang pada prinsip hemat struktur kaya fungsi dan tidak membebani anggaran yang ada yaitu :


1. Penempatan Detasemen 88 Anti Teror (Den 88/AT) yang selama ini diwadahi dalam struktur organisasi di masing-masing Polda, maka kedepan penempatan Den 88 /AT secara selektif akan ditempatkan pada 8 wilayah strategis yang masing masing mernbawahi beberapa Propinsi,
2. Pembangunan Polisi Perairan (Polair) untuk efektifitas pelaksanaan tugas pengamanan vilayah perairan Indonesia, dengan menempatkan pangkalan Polair yang baru pada 6 (enam) wilayah perairan strategis, dalam rangka penegakan hukum di laut dan sekaligus untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.
3. Pembangunan INAFIS (Indonesian Automatic Fingerprint Information System), yang dapat mendukung program pemerintah dalam rangka SIN (Single Identification Number), dan memperkuat upaya pembuktian secara ilmiah terhadap pelaku tindak kejahatan dalam proses penyidikan.
4. Pembangunan PUSIKNAS (Pusat Informasi Krirninal Nasional) sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga diperoleh informasi kriminal secara akurat berupa data kejahatan, pelanggaran dan jejak rekam kriminal secara nasional.
5. Melanjutkan pembangunan kesatuan kewilayahan dalam rangka mengikuti perkembangan pamekaran wilayah pemerintahan dengan titik berat pada wilayah perbatasan.
6. Manajemen keuangan Polri akan dikelola sesuai dengan norma keuangan Negara, diupayakan tepat guna dan tepat sasaran serta mencegah terjadinya penyimpangan, dan setiap penganggaran orientasinya berbasisi kinerja.

Fokus akselerasi yang juga akan saya prioritaskan adalah pengembangan dan pembentukan kerjasama dengan berbagai pihak yaitu berupa :
1. Kerjasama Interdepartemen Lintas Sektoral. Polri akan mengajak seluruh instansi yang terkait dengan pelaksanaan tugas Polri untuk bahu-membahu menghadapi setiap permasalahan yang timbul dan mencari solusi yang komprehensif untuk terciptanya situasi yang kondusif dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Kerjasama ini juga sekaligus dapat menjadi cara pengawasan oleh pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan tugas Polri. Polri akan terbuka terhadap pengawasan dari pihak lain seperti DPR, Ombudsman, Komnas HAM, KPK, BPK dan Kompolnas, karena Polri menyadari pengawasan tersebut pada prinsipnya adalah untuk mencapai hasil yang maksimal. Kerjasama dengan pihak TNI juga diperlukan sebagai kekuatan pengganda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hubungan yang harmonis harus terus ditingkatkan pada semua tingkatan sehingga terbentuk pernahaman terhadap tanggungjawab bersama dalam permasalahan keamanan.
2. Kerjasama Kepolisian Internasional. Sebagai anggota ICPO-Interpol, Polri mewakili kepentingan Indonesia di forum international sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kerjasama kepolisian dalam wadah ICPO - Interpol merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan, karena modus operandi kejahatan dan terjadinya tindak kejahatan tidak lagi diberantas oleh ruang dan waktu. Oleh karena Polri akan terus meningkatkan hubungan kerjasama dengan Negara-negara anggota ICPO Interpol. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh Polri dalam kerjasama kepolisian di Negara - negara Asean, dalam wadah ASEANAPOL. Disamping kerjasama dalam rangka wadah di atas, Polri juga akan mengembangkan kerjasama dengan Kepolisian Negara tertentu. Semua kerjasama ini akan diarahkan polri untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum dan penyelesaian tindak pidana kejahatan.
3. Kerjasama dengan masyarakat melalui Perpolisian Masyarakat ( Community Policing ), sinergitas antara inisiatif masyarakat dan dukungan polri merupakan kekuatan dan sarana pokok dalam memecahkan permasalahan untuk mencegah kejahatan. Program kemitraan dengan masyarakat akan terus ditingkatkan oleh Polri untuk mewujudkan daya tangkal masyarakat, di mana keberadaan polri merupakan motivator bagi tumbuhnya siskamtibmas swakarsa. Pengembangan Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat ( BKPM ) akan terus ditingkatkan dengan melibatkan juga peran Pemerintah Daerah.

PROGRAM AKSELERASI 2 : PENINGKATAN KUALITAS KINERJA ORGANISASI ( PERFORMACE QUALITY IMPROVEMENT )

Pada program akselerasi kedua ini, saya ingin menyampaikan berbagai program yang akan menjadi perhatian saya selain kelanjutan program prioritas sebelumnya, Semua program yang saya uraikan pada program kedua ini juga merupakan program prioritas jika saya diberi amanat dan dipercaya sebagai Kapolri nantinya, Ada tiga hal yang juga akan menjadi prioritas, yaitu mempercepat transformasi kultural, rnembenahi SDM Polri dan sistern pendidikan Polri, serta mengembangkan budaya pelayanan (service culture}.

MEMPERCEPAT TRANSFORMASI KULTURAL

Setelah delapan tahun berjalan pasca pemecahan Polri dari TNI, temyata masih panjang jalan yang harus ditempuh Polri sebagai institusi yang sedang bermetamorfosis menjadi lembaga yang sepenuhnya sipil. Mesti harus diakui bahwa berbagai pembenahan menuju Polri yang profesional; bermoral dan modern terus dilakukan. Hanya saja pembenahan tersebut belum cukup kuat untuk mewujudkan Polri kedalam tatanan yang diharapkan. Terdapat penilaian bahwa reformasi Polri belum menyentuh substansi, seperti reformasi pendidikan di Polri, dan kultur Polri yang masih mempertahankan pola lama. Kenyataan ini makin menyulitkan Polri secara kelembagaan dalam membangun institusi yang profesional dalam bingkai polisi sipil.

Akselerasi transformasi kultural pertu dititikberatkan pada berbagai aspek berlkut :

1. Membangun mentalitas dasar yang menjiwai pengambilan keputusan yaitu bahwa masyarakat dan Polisi merupakan mitra yang sejajar, tanpa menghilangkan jati dirinya yang tegas dalam menegakkan hukurn.
2. Memperjelas etos kerja dengan motivasi yang baik untuk bertindak berani, jujur, bersih dan berhasil dalam menjalankan setiap tugas.
3. Menginternalisasi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya dengan fokus bahwa fungsi mereka adalah melayani, bukan untuk dilayani.
4. Meningkatkan efektifitas pengawasan dalam setiap pelaksanaan tugas.
5. Membangun kemampuan kepemimpinan yang kuat untuk memberikan teladan bagi bawahannya dan masyarakat.

Perubahan suatu budaya sejatinya terdiri dari tiga lapisan, yaitu Perubahan artefak atau yang terlihat secara kasat mata, lalu Parut ahan perilaku yang bentuknya abstrak tetapi masih terobservasi dengan kasat mata, dan yang paling sulit, Perubahan kayakinan atau paradigma. Oleh karena itu, dalam melakukan perubahan budaya, sebuah organisasi harus melakukan perubahan hingga kepda nilai dan keyakinan. Perubahan ini akan menentukan sukses tidaknya perubahan budaya yang ingin dicapai oleh Polri.

Perubahan fisik atau atefak dengan mudah dapat dilakukan. Perubahan perilaku dilakukan dengan cara memperbaiki serta menyusun piranti lunak organisasi sebagai landasan sistem dan prosedur dalam bertugas di Polri, baik untuk operasional maupun pembinaan organisasi. Sementara itu perubahan paradigma, tidak ada jalan lain, kecuali dengan sistem pendidikan yang memadai dan mendasar. Terkait dalam koridor perubahan atau tranformasi kultural ini, maka fokus perhatian saya kedepan adalah sistem pendidikan pengembangan SDM Polri.

Bicara tentang manajemen transformasi kultural Polri setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi perhatian utama yaitu :

* Budaya dan tujuan besar Polri. Budaya harus dianggap sebagai bagian penting dalam mencapai tujuan besar. Dlam konteks Polri, penentuan tujuan besar Polri merupakan basis paling utama dalam melakukan perubahan, terutama perubahan budaya. Selain itu, gambaran dari tujuan besar tersebut juga haruslah jelas dalam artian mudah dipahami dan tidak menimbulkan multi interpretasi.

* Faktor faktor penentu budaya. Budaya yang ingin dicapai oleh Polri ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor utama yang dominan adalah kepemimpinan dan kedaulatan. Sedangkan faktor - faktor lainnya yang menjadi faktor - faktor penentu budaya adalah sistem, kompetensi dan strategi perubahan.

* Proses tranformasi budaya. Dalam menentukan proses tranformasi budaya yang akan dilakukan, hal - hal yang harus diperhatikan antaranya adalah menyadarkan perlunya perubahan dengan melakukan perubahan dalam aspek strategis, tataran implementasi dan menentukan keberhasilan secara teratur.

Selain itu harus diperhatikan dampak lebih lanjut dari perubahan budaya Polri. Aspek kultural, Instrumental ( Inspiration ) dan kultural ( Institution ) tidak akan pernah lepas satu sama lain. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang akan saling mempengaruhi.

PEMBENAHAN SDM POLRI DAN SISTEM PENDIDIKAN POLRI

Pemolisian yang sekaran ini dikembangkan dalam negara - negara yang modern dan demokratis adalah pendekatan proaktif pemecahan masalah ( problem solving ), yang lebih mengedepankan mengedepankan pecegahan kejahatan ( crime prevention ). Dalam pemolisiannya , polri berupaya menuju pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat, epnegak hukum, dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian pemolisian yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan dapat diterima atau cocok dengan masyarakatnya sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya, berorientasi pada masyarakat, dan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi.

Salah satu upaya yang penting dilakukan dalam hal ini adalah dengan melalui penyiapan sumber daya manusia yang dimiliki pengetahuan secarakonseptual maupun teorikal, yang berkaitan dengan maslah - masalah social dalam melaksanakan pemolisiannya.

Pengelolaan sumber daya manusia memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kinerja, produktifitas dan pencapaiaan tujuan organisasi, karena sumberdaya manusia merupakan modal dasar dalam menentukan kemampuan organisasi Polri dalam melayani masyarakat yang memiliki banyak tuntutan. Minyikapi tuntutan dari masyarakat ini, Polri harus engambil langkah pembenahan kedalam tubuh Polri, terasuk pembenahan sistem pendidikan Polri.

Di sisi lain secara kualitas Polri juga harus berupaya untuk memenuhi rasio jumlah Polisi terhadap jumlah penduduk Indonesia, sehingga pada tahun 2009 dapat mencapai 1 : 500, dimana standar PBB adalah 1 : 350.

* Prisip nilai tambah ( Value added ). Setiap proses pndidikan didalam jenjang karir Polri haruslah memberikan nilai tambah berupa penambahan kompetensi bagi peserta didik. Dengan demikian, setiap program pendidikan harus mendefinisikan dengan jelas, kompetensi apa yang diperoleh peserta didik nantinya setelah mengikuti program pendidikan tersebut.

* Prinsip kesamaan peluang ( equal oppurtunity ). Setiap proses pendidikan haruslah memberikan peluang yang sama untuk kelulusannya dalam meniti karir. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah jalur cepat atau pun jalur lambat. Prinsip kesamaan peluang mengatakan bahwa hanya ada satu jalur dalam pendidikan untuk meniti karir, dan setiap orang memiliki peluang yang sama.

* Prinsip keselarasan eksternal ( external aligament ). Prinsip ini mengatakan bahwa sistem pendidikan didalam sebuah organisasi sebaiknya mengacu pada sistem pendidikan yang lazim digunakan dan diakui oleh regulasi di sebuag Negara. Ini berarti sistem pendidikan didalam lingkungan Polri juga sebaiknya mengacu pada sistem pendidikan nasional Republik Indonesia yang diatur oleh Undang - Undang Pendidikan Nasional. Dengan demikian, produk sistem pendidikan Polri dapat diselaraskan dengan produk sistem Pendidikan Nasional pada umumnya.

* Prisip efisiensi ( effeciency ). Prinsip efisiensi mengatakan bahwa sistem pendidikan yang terdapat didalam sebuah organisasi harus dilaksanakan secara efisien, baik dari sisi pemanfaatan sumber daya pendukung, waktu, maupun biaya pelaksanaan. Kita membutuhkan suatu sistem pendidikan yang singkat, tetapi memberikan nilai tambah yang signifikan untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia Polri. Keterbatasan anggaran selalu menjadi masalah, dimana terdapat beberapa jalur pendidikan Polri terutama perwira, memang belum menunjukan prinsip efisiensi ini.

* Prinsip kesinambungan ( sustainability ). Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak pernah berhenti. Belajar adalah suatu proses yang berkesinambungan, tidak harus selalu berarti belajar didalam kelas. Kita juga dapat belajar sambil bekerja denga jarak jauh ( distance learning ), baik dengan menggunakan teknologi canggih seperti internet maupun sederhana. Dengan demikian, suatu sistem pendidikan harus mampu menjawab bagaimana nantinya sumber daya manusia yang ada didalam organisasi dapat belajar secara berkesinambungan walaupun sambil bekerja ( countinuing education ) walau seorang personil Polri sedang ditugaskan didaerah terpencil sekalipun

Dengan demikian, sesuai dengan akselerasi pencapaian sasaran prioritas Polri, maka untuk pengembangan kompetensi sumber daya manusia perlu dilakukan penyusunan kurikulum yang lebih aplikatif dan diarahkan untuk membentuk anggota Polri yang profesional memiliki kemahiran dan sikap terpuji serta memiliki kepatuhan hukum yang tinggi. Pola kegiatannya adalah memberdayakan dewan kurikulum secara optimal, menserasikan kurikulum antar jenis dan jenjang pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi, serta kurikulum yang mengarah pada filosofi pendidikan Polri.

Dalam aspek pengembangan sumber daya manusia, juga akan diakselerasikan dan ditingkatkan berbagai bidang manajemen sumber daya manusia. Untu rekrutmen, Polri akan terus menyempurnakan implementasi kebijakan mencari bibit unggul ( termasuk prinsip "Local Boy The Local Job" ), kaderisasi, dan penetapan proses yang transparan, obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal pembinaan karir, Polri akan terus meningkatkan implementasi kebijakan the right man on the right place dengan didasarkan pada prestasi, obyektif, adil, moralitas, pendidikan, dan kompetensi.

Selain itu, sejumlah analisis dalam rangka evaluasi terhadap kndisi Polri saat ini juga diperlukan. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan dan memperbaharui setiap eleman yang ada dalam sistem pendidikan Polri. Analisis tersebut antaranya adalah terhadap sistem pendidikan untuk perwira dan bintara, organisasi pendidikan Polri, dan materi ajar yang diberikan. Adapun, dari analisis tersebut, dapat dihasilkan sejumlah rekomendasi yang kompehensif dalam bentuk cetak biru ( blue print ) yang bertahap dan berkesinambungan ( sustainable ) sistem pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi. Hal ini misalnya sudah diterapkan pada beberapa fungsi di Polri, seperti misalnya cetak biru reserse kriminal Polri.

MENANAMKAN BUDAYA MELAYANI
( SERVICE CULTURE )

Menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa guna membantu Polri dalam mengemban tugas tersebut. Polri sendiri menyadari akan hal itu, sehingga selalu berusaha mendekatkan diri kepada masyarakat. Antara lain melalui kepolisian sektor ( polsek )sebagai ujung tombak telah membentuk Forum Kemitraan Permolisian Masyarakat ( FKPM ), disetiap desa. Konvergensi Polri da masyarakat diperlukan dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negri.

Tugas pelayanan terhadap masyarakat mungkin belum memuaskan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh masih adanya pemikiran sebagian anggota Polri yang menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan. Hakikat pelayanan polisi kepada masyarakat adalah wujud pengabdian anggota Polri pada hukum. Sebagaimana diketahui, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dibawah hukum. Sikap luar anggota Polri adalah cerminan moral di dalam diri mereka. Padahal setiap anggota Polri merupakan hukum yang hidup, tanpa polisi, peraturan perundang - undangan hanya doktrin mati tanpa arti apa - apa. Ada beberapa hala yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka peningkatan kinerja ( pelayanan masyarakat dan penegakan hukum ) Polri. Diantaranya adalah pengembangan secara internal dan external.

Dalam manajemen pelayanan kita mengenal teori well MES, mengenai syarat untu memperoleh aparat penegak hukum yang baik. Syarat tersebut adalah well motivation, well education, dan well salary.

* Pertama, well motivation. Motivasi setiap individu dalam memasuki gerbang dunia kepolisian bias saja berbeda, namun begitu berhadapan dengan tuntutan tugas mau tidak mau harus tunduk kepada moral dan etika profesi Polri. Tanggungjawab moral dan etika profesi itulah yang seharusnya memotivasi setiap langkah personil kepolisian.

* Kemudian well education ( pendidikan yang baik ), mutlak diperhatikan dalam upaya peningkatan kinerja Polri. Profesionallisme Polri perlu mendapat dukungan sumber daya manusia yang bermoral dan intelektual. Masalah pendidikan ini sudah diuraikan sebelumnya.

* Yang tidak kalah pentingnya adalah kesejahteraan atau well salary. Menyoal yang mana harus didahulukan apakah pekerjaan atau kesejahteraan, ibarat menerka telur atau ayam, mana yang lebih dulu ada. Rasa salut dan bangga layak ditujukan kepada setiap anggota Polri. Secara tidak langsung kesejahteraan anggota polisi akan berpengaruh kepada kredibilitas. Sebab, godaan materi dari dalam lingkup tugas tugas selalu terbuka lebar. Kurang dana oprasional memicu anggota polisi "berkrensi" untuk menutupinya, sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sering terdengar polisi mencari tambahan penghasilan didalam maupun diluar jam dinas.

Selain itu, birokrasional Polri juga perlu divaluasi kembali. Proses - proses birokrasi pada sentra layanan masyarakat , pembuatan siurat ijin mengemidi, STNK, dan BPKB, kelakuan baik / catatan kepolisian dan lainnya merupakan hal - hal yang dekat dengan masyarakat, sehingga langsung mendapat pandangan atau reaksi masyarakat bila terdapat penyelewengan.

Secara external, polri perlu mengembangkan sejuamlah program program yang dapat menjalin kemitraan yang lebih nyata dengan masyarakat. Forum komunikasi yang digunakan selama ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat ingin sekali dapat berkomunikasi dengan Polri secara langsung dengan posisi seajar dan seimbang.

Adapun bentuk lain yang dapat dikembangkan diantaranya adalah bagaimana eksistensi Polri manjadi lebih dekat, madani, demokratis dan mendapat simpati dan dudkungan masyarakat. Program tersebut seperti kemitraan dengan sejumlah sekolah untuk program program pembinaan hukum dan kepolisian, polisi tanpa seragam, forum diskusi dan masyarakat, integrasi kepolisian pada RT maupun RW, dan lainnya.

PROGRAM AKSELERASI DAN KOMITMEN TERHADAP ORGANISASI
( ORGANIZATION COMITMENT )

Pilar terakhir pada TIGA PROGRAM AKSELERASI UTAMA ini adalah komitmen. Tanpa komitmen, terutama komitmen pimpinan, maka semua yang diinginkan sebelumnya tadi hanya tida bermakna. Dengan demikian, saya kembali menegaskan komitmen, sebagai bagian dari dalah satu program akselerasi utama.

* Terkait denga pengamanan menjelang pesta demokrasi pemilu pada tahun 2009, maupun berbagai pilkada yang sedang diadakan berlangsung, dimana Polri akan bersikap profesional dan tidak berpihak. Dengan komitmen bahwa Polri dan seluruh jajarannya akan tetap bersifat netral atau tidak berpihak serta semakin baik melakukan tugas dan kerjasama dengan semua pihak yang terkait ( stekeholders ) dalam mewujudkan kondisi keamanan dan ketertiban bagi seluruh masyarakat, baik bagi masyarakat umum dalam melakukan kegiatan dan aktifitas sehai - hari, maupun bagi kalangan dunia usaha dalam menjalankan semua kegiatan bisnisnya.

* Terkait dengan kebijakan dan implementasi pencegahan, pemberantasan dang penanggulangan berbagai tindak kejahatan dan penyakit masyarakat, seperti korupsi, perjudian, penyelundupan, narkoba, terorisme, kejahatan ekonomi, ilegal loging, ilegal mining, traficking, dan kejahatan lainya. Saya akan perintahkan kepda seluruh jajaran Polri untukl menindak tegas tanpa kompromi dalam mencegah,memberantas dan menanggulangi berbagai tindak kejahatan dan penyakit masyarakat tersebut, dengan melanjutkan berbagai kebijakan dan implementasi yang telah dilakukan dalam kepemimpinan Polri sebelumnya. Saya akan memelihara konssistensi sikap dan tindakan saya dan melanjutkan apa yang pernah saya lakukan sebelumnya sepanjang karir saya di Polri dalam memerangi berbagai tindak kejahatan dan penyakit masyarakat tersebut, seperti yang saya telah lakukan semasa menjabat sebagai Kapolda Kalsel, Kapolda Sumut, dan Kabagreskrim. Polri akan terus melanjutkan dan meningkatkan sikap dan tindakan tersebut secara objektif dan mandiri sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

* Terkai dengan budaya pelayanan prima yang akan menjdi program yang semakin ditingkatkan pelaksanaannya, maka polri harus menjadi institusi yang memberikan pelayanan publik terbaik ( public service policing ). Kantor - kantor pelayanan kepolisian harus dijadikan tempat yang nyaman dan menyenangkan, bukan tempat yang semrawut dan menakutkan. Saya akan terus melanjutkan dan meningkatkan upaya untuk membersihkan berbagai penyimpangan dan perilaku yang menyakitkan hati rakyat, antara lain dengan menghilangkan berbagai bentuk perilaku menyimpang yang terjadi dalam pelaksanaan tugas, dan menggantikannya dengan perilaku yang menampilkan kinerja yang bagus dan berkualitas, baik dengan tindak melakukan tindakan yang membebani dan mempersulit masyarakat, dan menggantikannya denga pelayanan yang cepat, mudah dan nyaman bagi mayarakat.

* Terkait dengan kerjasama secara external bersama DPR, TNI, Instansi Pemerintah, Pemda, Kompolnas, LSM, Media, Institusi Pendidikan, Kepolisian Negara lain, Lembaga Internasional, dan pihak - pihak yang lainnya. Upaya maksimal akan terus mendorong untuk meningkatkan kerjasama ini sehingga secara internal Polri akan semakin efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya, dan secara external Polri akan semakin memiliki hubungan yang harmonis dan memberikan dampak yang positif dan mutualis bagi peningkatan kualitas Polri maupun kepentingan masyarakat. Jika diberikan amanah sebagai pipinan tertinggi Polri, yang palig penting untuk ditunjukan adalah keteladanan, kesungguhan dan ketulusan untuk membawa organisasi ini menjadi semakin profesional, berintegritas dan berkualitas.

* Terkait dengan aspek pembinaan Polri, upaya reformasi internal Polri ( struktur, instrumental, dan kultural ) yang selama ini telah berjalan tetap dilanjutkan dan ditingkatkan dengan cara - cara kreatif dalam mengimplementasikan berbagai program peningkatan organisasi, proses kerja, dan sumberdaya manusia. Menurut hemat saya, transformasi kultural ini masih panjang jalanya dan akan diberi perhatian khusus, terutama melalui perbaikan sistem pendidikan, maupun pembinaan kompetensi dan perilaku secara keseluruhan. Beberapa hal yang terkait dengan ini misalnya peningkatan efisiensi dan efektifitas struktur organisasi Polri, pemangkasan dan penyederhanaan proses pelayanan kepolisian yang berbelit - belit dan menyulitkan masyarakat,meningkatkan kompetensi Polisi ( Pengetahuan, kemampuan / keahlian, Perilaku, dan budaya pelayanan ), dan hal lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus sejalan dengan upaya reformasi birokrasi yang telah dilakukan pemerintah di berbagai instansi.

* Terkait dengan pengelolaan keuangan dan pengadaan sarana / prasarana polri, akan dikelola sesuai dengan norma pengelolaan keuangan negara dan prosedur pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara transparan, obyektif, dan tepat sasaran serta bersih dari KKN. Akan diupayakan pengawasan efektif dan intensif untuk menghindari penyimpangan dan kebocoran keuangan negara dengan tetap berpegang pada prinsip penganggaran berbasis kinerja.
***sumber Komisi Kepolisian Nasional***...di post kan Roedy ‘ s Blog

IMPLEMENTASI AKSELERASI POLMAS DENGAN MENJALANKAN PROGRAM QUICK WINS DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

1. PENDAHULUAN.
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002, dan khususnya pada pasal 13, secara tersurat ialah sebagai suatu lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi, tugas memelihara keamanan dalam negeri, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Kemudian PerKap No. 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman dasar strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri. Pemolisian Masyarakat (Polmas) merupakan Grand Strategi Polri dalam rangka melaksanakan tugas pokok Polri sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat.
Dalam Keputusan Kapolri tersebut diatas maka Polri dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanannya melalui sikap dan perilakunya yang profesional sebagai wujud pertanggung jawaban kepada publik yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui peran petugas Polmas dan menjalankan program Quick Wins yang seabagaimana telah diputuskan oleh Kapolri.
Organisasi Polri sebagai milik masyarakat harus menyadari untuk melayani masyarakat bukan dilayani, Kepolisian RI (Polri) telah meluncurkan program Quick Wins, yang merupakan program-program unggulan dalam rangka akselerasi untuk mencapai sasaran grand strategis Polri 2005-2009. Program akselerasi ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi Polri yang diharapkan memberikan perubahan dalam aspek kultural. Dalam launching reformasi birokrasi Polri, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menjelaskan, ada empat program Quick Wins. Keempat program ini adalah quick respond; transparansi pelayanan SIM, STNK, BPKB; transparansi proses penyidikan; dan transparansi rekruitmen personel, dengan demikian maka program quick wins dituntut bisa memenuhi apa yang menjadi harapan daripada masyarakat khususnya dalam bidang pelayanan agar lebih profesional dan dapat dipercaya oeleh masyarkat.
Polri telah mereformasi diri melalui Bijak Perubahan Instrumental, Struktur, Kultural ( POLISI SIPIL ), namun hasilnya belum sesuai harapan masyarakat.
Untuk mencapainya harapan masyarakat dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat Polri perlu mempercepat proses REFORMASI BIROKRASI, salah satunya melalui PROGRAM UNGGULAN (quick wins).
Untuk itu dikaitkan dengan judul tersebut diatas Penulis merumuskan suatu permasalahan yaitu “Bagaimana Implementasi Akselerasi Polmas dengan menjalankan program quick wins dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat”. dari permasalahan tersebut dapat di uraikan persoalan-persoalan antara lain ; a. Bagaimana Polmas saat ini. b. Implelentasi Akselerasi Polmas dengan menjalankan program Quick Wins.

2. PEMBAHASAN.
a. Polmas saat ini.
Polmas (Perpolisian Masyarakat) pada dasarnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan perkembangan penyelenggaraan fungsi Kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep Community Policing.
Mengacu pada uraian diatas, Polmas pada hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur utama, yaitu :
1) Membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat.
2) Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal.
Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi Kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat”.
Metode Polmas adalah suatu metode sistem keamanan swakarsa yang dalam pelaksanaannya senantiasa dijalin hubungan kerjasama antara polisi dan masyarakat. Untuk mencapai suatu perwujudan terbinanya hubungan kerjasama polisi dan masyarakat dibutuhkan suatu komitmen bersama antara Polri dan masyarakat. Namun yang lebih memiliki peran terpenting guna terwujudnya kemitraan dan kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang harmonis tentu saja sudah barang tentu kepribadian dari tiap-tiap personil Polri harus mencerminkan suatu sosok personil Polri yang sipil/Kepolisian Sipil.
Implementasi Polmas dalam pelaksanaannya saat ini sebagai metode kerjasama dan kemitraan polisi dan masyarakat dalam rangka memelihara keamanan dan keteriban di lingkungan masyarakat, dirasakan belum berjalan secara optimal dikarenakan Konsep Polmas secara umum ternyata belum dipahami oleh secara benar dan utuh, baik oleh masyarakat maupun oleh anggota kepolisian itu sendiri. Ketidaktepatan dalam memberi makna perpolisian dan memahami filosofi yang melatar belakangi lahirnya “gerakan” perpolisian masyarakat (Polmas) ini pada akhirnya menimbulkan banyak terjadi kebuntuan, bahkan penyimpangan dalam implementasinya di lapangan. Terdapat beberapa anggapan yang kurang tepat atau bahkan sama sekali salah mengenai Polmas. Anggapan-anggapan yang salah mengenai Polmas adalah:
1) Polmas dianggap sebagai lembaga yang mengawasi kinerja kepolisian.
2) Polmas dianggap boleh menangani atau memutuskan tentang penyelesaian tindak pidana, meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara pidana ditingkatkan menjadi penyidikan.
3) Polmas dianggap sebagai organisasi bawahan kepolisian
4) Polmas dianggap organisasi yang dibiayai oleh kepolisian
5) Polmas dianggap sebagai organisasi massa atau LSM.
Pelaksanaan Polmas dalam penerapannya tidak efektif, hal ini timbul karena masih adanya sikap masyarakat maupun Polisi yang kurang memahami tentang Polmas serta masyarkat melihat bahwa kecenderungan dari anggota Polri masih bersikap sok berkuasa, tidak sopan, arogansi dan lain sebagainya. Kultur personil Polri yang tidak mencerminkan sikap yang demikian berdampak terhadap menjauhnya polisi dari masyarakat yang menjadi binaannya.

b. Implementasi Akselerasi Polmas dengan menjalankan program Quick Wins.
Community Policing adalah bentuk pemolisian sipil untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan :
1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat.
2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas,
3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention),
4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
5) Polisi memberikan pelayanan dengan quick respon.
Penerapannya dengan mengedepankan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan antara polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana polisi bisa menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal dan adat istiadat masyarakat sukubangsa setempat.
Sebagaimana yang menjadi salah satu kriteria dari polisi sipil dikaitkan dengan program Quick Wins, yang bertujuan Meningkatkan Kepercayaan dan Kecintaan Publik ( Masyarakat ) Kepada Institusi ( Polri ) dalam waktu cepat.
Berdayakan dan kembangkan sarana prasarana komunikasi yang ada di Polres dan POlsek untuk mempermudah akses masyarakat dengan menunjukan petugas operator dengan mengaktifkan nomor panggilan darurat 112.
1) Lakukan inventaris seluruh peralatan / sarana prasarana patroli dan lakukan perbaikan serta penambahan saran prasana / peralatan komunikasi.
2) Agar aktifkan kontak kontak person langsung ( hotline ) antara masyarakat dengan Para Kepala Satuan Wilayah ( dari Kapolda sampai dengan Kapolsek ) serta fungsi-fungsi operasional ( Samapta, Lantas, Reserse dan Intel ) dengan memberikan nomor hp dan telpon kantor yang mudah dihubungi.
3) Agar menyiapkan dan memberdayakan call center di setiap Polres seluruh jajaran sampai ke Polsek, utamanya Polsek yang ada di kota-kota besar.
4) Laksanakan pelatihan bagi personil patroli maupun operator komunikasi tentang tata cara berpatroli dan berkomunikasi yang baik dan benar.
5) Agar fungsi opsnal dan pembinaan terkait juga melaksanakan quick respon dan memberikan dukungan untuk keberhasilan Program Quick wins.
3. KESIMPULAN.
KEBIJAKAN quick wins dapat dijadikan katalisator untuk melakukan Reformasi Birokrasi Polri, dalam rangka Peningkatan Pelayanan sehingga masyarakat semakin mempercayai Polri.
Akselerasi Polmas dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat harus di dukung dengan program QUICK WINS yang sebagaimana telah di putuskan oleh kebijakan Kapolri.
QUICK WINS harus dikembangkan, dijabarkan dan harus dilaksanakan diseluruh Fungsi Teknis Kepolisian diseluruh jajaran.
Perlu disosialisasikan kepada seluruh anggota Polri dan Stakeholders / Masyarakat.
Diperlukan Komitmen dari seluruh anggota Polri dalam mengoperasikan / mengaplikasikan QUICK WINS.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Perkap No. 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman dasar Strategi Implementasi POLMAS.
3. Grands Strategi Polri 2005-2025.


Minggu, 02 Mei 2010

Implementasi Polmas dan Permasalahannya

“Polri, Pemda dan Polmas”


Abstract:

Tulisan ini akan membahas dua hal. Pertama, mendiskusikan tentang implementasi Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan kendalanya. Setelah lebih dari empat tahun berjalan, program Polmas masih mengalami kendala dalam praktiknya; keterbatasan anggaran dan ketersediaan infrastruktur. Meski Polri memiliki konsep dan SDM yang baik, namun hal tersebut dibatasi oleh minimnya anggaran dan infrastruktur pendukung. Pemerintah Daerah (Pemda) secara realitas memiliki apa yang kurang dimiliki oleh Polri; kemungkinan bantuan anggaran dari pos APBD, dan keterkecukupan infrastruktur yang dimiliki. Akan tetapi hingga saat ini Polri masih belum secara terbuka menawarkan kerja sama yang konkret kepada Pemda. Polri masih enggan membagi kewenangannya kepada kepala daerah dan DPRD setempat. Kedua, tulisan ini akan menawarkan beberapa model kerja sama antara Polri dan Pemda terkait Polmas, khususnya dan program Polri lainnya,dengan berbagai persyaratan dan kondisi yang mengikutinya.

Kata Kunci: Polri, Polmas, Pemda, Kerjasama, Kewenangan

I. Pendahuluan

Ada sesuatu yang berbeda dari pendekatan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam empat tahun terakhir terkait hubungannya dengan masyarakat. Ada semacam perubahan paradigma yang mendasar dalam konteks penyelesaian berbagai permasalahan keamanan di lingkungan masyarakat. Polri berupaya mengembangkan pola pendekatan berbasis masyarakat terkait dengan upaya membangun kemitraan yang strategis antara Polri dengan masyarakat dalam pencegahan dan penangkalan kejahatan, pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan, dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Program tersebut dikenal dengan Perpolisian atau Pemolisian Masyarakat, yang disingkat dengan Polmas.

Program tersebut juga merupakan bagian dari respon terhadap maraknya aksi teror yang meningkat pasca Peristiwa 911. Sebelum itu Polri telah membentuk Densus 88 AT pada tahun 2003 sebagai salah satu amanah UU No.15 tahun 2003 Tentang Anti Teror. Akan tetapi keberadaan Densus 88 AT tidak secara spesifik melakukan langkah-langkah pre emtif dengan mengajak dan melibatkan masyarakat dalam upaya pencegahan berkembang dan maraknya aksi terorisme di Indonesia. Karena itu, Polmas menjadi ujung tombak bagi Polri untuk melibatkan masyarakat dalam menjaga lingkungan dari kemungkinan berkembangnya gerakan terorisme di Indonesia. Sehingga upaya membangun kerja sama antara Pemda, Polri,dan masyarakat dalam konteks Polmas menjadi sangat signifikan. Meski demikian, keberadaan program ini belum banyak memberikan efek positif bagi pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia, serta pencitraan Polri secara keseluruhan.

Namun demikian, program Polmas tersebut sejak pertama kali diluncurkan dengan adanya Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005 tertanggal 13 Oktober 2005 Tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, program tersebut belum sebagaimana yang diharapkan. Terkesan bahwa Polri menjadi aktor utama dan satu-satunya dari proses tersebut, hampir tidak terlihat ada sentuhan kerja sama yang efektif dengan masyarakat secara luas, dan pemerintah daerah. Bahkan dalam program andalannya ini Polri banyak didukung oleh lembaga donor seperti IOM, JICA, Partnership, dan lain sebagainya, namun minim kerja sama dengan Pemerintah daerah (Pemda). Dukungan dari Pemda terasa setengah hati, meski beberapa provinsi dan kabupaten/kota secara eksplisit akan mendukung program tersebut. Akan tetapi realitanya hanya sebatas pada hitam di atas putih, harapan agar pendanaan Polmas juga didanai oleh APBD masih menjadi bagian yang bersifat utopis, meski di masa yang akan datang bukan tak mungkin direalisasikan. Pemda cenderung melihat bahwa program Polmas merupakan program langsung Polri, apalagi disebut sebagai program andalan, yang mengubah paradigma kepolisian. Efek politisnya tidak dirasakan oleh Pemda, sehingga berhasil tidaknya program tersebut pada akhirnya berpulang kembali pada Polri. Pemda dalam konteks membantu tugas dan fungsi Polri sebatas pada bantuan hibah yang dianggarkan dalam APBD. Dalam konteks ini sesungguhnya dana hibah yang diberikan Pemda relatif dapat dijadikan satu pembuktian bahwa Pemda secara institusi telah membantu Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya di wilayahnya. Sehingga harapan Polri untuk mendapatkan dukungan anggaran dari pos APBD, khususnya pada implementasi program Polmas, dianggap terlalu jauh dan butuh pembicaraan yang bersifat formal dan politis.

Tulisan ini akan membahas bagaimana hubungan Polri dan Pemda,khususnya terkait pada implementasi program Polmas. Apa saja yang menjadi kendala dalam proses implementasi Polmas tersebut, terkait dengan kerja sama dan dukungan dari Pemda, dan bagaimana tawaran solusi, agar program Polmas tidak hanya menjadi domain Polri,tapi Pemda secara aktif mendukung penuh agar dapat menciptakan kondusifitas kewilayahan.

II. Implementasi Polmas dan Kendalanya

Sejak tahun 2005,atau tepatnya sejak Skep Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tertanggal 13 Oktober 2005, Polmas menjadi salah satu program andalan Polri dalam membangun kemitraannya dengan masyarakat guna mencegah dan menangkal kejahatan. Namun harus diakui bahwa program tersebut belum sepenuhnya berhasil,bahkan berjalan. Ada berbagai kendala yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan, kesadaran internal anggota Polri yang belum sepenuhnya memahami perbedaan pendekatan dengan program yang ada sebelumnya. Badan Pembina Keamanan, dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang lebih dulu ada sebelum program Polmas dan merujuk pada keberadaan Babinsa dalam konteks teritorial militer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun pendekatan dengan masyarakat.

Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa pimpinan Polri kemudian mengeluarkan berbagai produk hukum terkait dengan pedoman, panduan pelaksanaan, pembentukan dan pelaksanaan, hingga strategi dan implementasi Polmas. Terhitung ada lima produk hukum yang diterbitkan oleh pimpinan Polri pasca Skep. Kapolri No. 737, tahun 2005 terkait dengan implementasi Polri, antara lain: Skep Kapolri No. Pol.: Skep/431/VII/2006 tertanggal 1 Juli 2006 tentang Pedoman Pembinaan Personel Pengemban Fungsi Polmas; Skep Kapolri No. Pol.: Skep/432/VII/2006 tertanggal 1 Juli 2006 tentang Panduan Pelaksanaan Fungsi Operasional Polri dengan Pendekatan Polmas; Skep Kapolri No. Pol.: Skep/ 433/VII/2006 tertanggal 1 Juli 2006 tentang Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas; Kebijakan dan Strategi Percepatan dan Pemantapan Implementasi Polmas tertanggal 8 Desember 2007, dan yang terakhir Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Kelima produk hukum tersebut melengkapi Skep Kapolri sebelumnya, sehingga dapat menjadi satu panduan bagi implementasi program Polmas bagi anggota Polri.

Di samping itu diselenggarakan berbagai pelatihan dan perekrutan anggota Polri yang dikhususkan dan diarahkan menjadi Community Policing Officer (CPO) yang hingga saat ini telah mencapai angka 70 ribu yang telah dilatih, dengan beragam tingkat kepangkatan. Pelatihan tersebut melibatkan berbagai institusi di internal Polri, dan lembaga donor, serta universitas. Akan tetapi bila melihat angka tersebut terbilang fantastis bila dikaitkan dengan belum maksimalnya implementasi program Polmas secara umum. Sebab dengan jumlah anggota Polri yang telah dilatih terkait dengan Polmas, akan diarahkan menjadi master trainer bagi anggota Polri lainnya, serta anggota masyarakat secara luas. Dengan begitu seharusnya dapat meningkatkan pemahaman anggota Polri terkait dengan praktik Polmas di berbagai tingkatan mulai Markas Besar Polri, Satuan Induk Penuh (SIP) di Polda, Kesatuan Operasional Dasar (KOD) di tingkat Polres hingga kesatuan terdepan di tingkat Polsek. Namun demikian agaknya harus diakui bahwa lima tahun pertama implementasi Polmas baru pada upaya membangun kesadaran dan paradigma baru terkait dengan operasionalisasi dan kinerja Polri, yang menjadikan Polmas sebagai program andalan. Sehingga belum mampu lebih menitikberatkan pada operasionalisasi di lapangan. Meski hal tersebut dilaksanakan,agaknya baru terbatas pada pembangunan pencitraan baik masyarakat terhadap Polri. Tak heran apabila kemudian Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang dibentuk dan menjadi bagian terpenting dalam Skep Kapolri pertama banyak diinisiasi oleh anggota Polri bersama mitra donornya, seperti IOM, JICA, Parnership, Asia Foundation, dan lain sebagainya. Bahkan justru yang kemudian mengemuka adalah anggota masyarakat yang menjadi bagian dari FKPM terkesan arogan dan memanfaatkan kedekatannya dengan Polri sebagai lahan untuk melakukan berbagai tindakan yang merugikan pencitraan Polri di masyarakat.

Berbeda dengan Skep Kapolri pertama tentang Polmas, pada Peraturan Kapolri terbaru, pakem mengembangkan Polmas tidak lagi sebatas membangun FKPM dan penitikberatan efektifitas Pos Polisi sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan Polmas, dalam Peraturan Kapolri tersebut diadobsi berbagai bentuk Polmas, baik yang bersifat tradisional seperti Pecalang, Ronda Kampung, hingga model yang sukses dipraktikkan di Jepang, Canada, Amerika, serta Australia. Langkah ini sesungguhnya mencerminkan kegundahan dan ketiadaan pakem yang akan dibuat oleh Polri terkait dengan Polmas. Kegundahan tersebut senyiratkan bahwa ada ketidakfokusan pada pengembangan program tersebut. Sebab, secara konseptual, hampir tidak ada celah terkait dengan program Polmas yang dibuat oleh Polri, yang menjadi masalah adalah pada implementasi yang tidak efektif, bahkan cenderung mengarah kepada stagnasi dengan tetap memosisikan Polri sebagai aktor tunggal, keterlibatan masyarakat dan Pemda belum sepenuhnya dapat menopang program tersebut. Padahal secara konseptual dan kebijakan Polri, terbuka lebar untuk melibatkan Pemda secara aktif, misalnya Pada Peraturan Kapolri No.7 tahun 2008,pada Pasal 23 point C tentang pengembangan pranata sosial; Pasal 28 point C tentang penggalangan dan koordinasi; Pasal 51 point 3 tentang dukungan anggaran dari Pos APBD; Pasal 62 point 1 tentang pelibatan Pemda pada percepatan dan pengembangan Polmas; dan Pasal 66 tentang adanya kesamaan komitmen terkait dengan program Polmas.

Apa yang ditegaskan dalam Peraturan Kapolri tersebut tidak bertepuk sebelah tangan, dalam UU No. 32 tahun 2004, peluang untuk membangun kerjasama dengan prinsip saling menguntungkan terbuka lebar, misalnya pada Pasal 10 point 4 dan point 5 tentang pelimpahan kewenangan dan tugas pemerintahan, di mana di dalamnya termasuk pada pelimpahan penyelenggaraan keamanan dalam negeri; Pasal 13 dan Pasal 14 point b, c dan d tentang pemenfaatan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana, serta Pasal 164 tentang ketentuan hibah. Di samping itu, meski ada larangan bantuan keuangan kepada instansi vertikal, di mana termasuk di dalamnya Polri, sebagaimana yang ada dalam Surat Edaran Mendagri No. 15 Tahun 2004, Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006, dan Peraturan Mendagri No. 59 Tahun 2007, namun masih ada celah bagi Pemda untuk bekerja sama dan melakukan negoisasi politik dengan Polri terkait dengan dukungan anggaran dari pos APBD bagi operasionalisasi Polri, termasuk di dalamnya program Polmas.

Akan tetapi Peraturan Kapolri serta berbagai cela dan peluang untuk membangun kerja sama yang lebih strategis antara Polri dan Pemda, terkait dengan dukungan anggaran menjadi tidak strategis dan menarik bagi Pemda karena dalam berbagai Skep Kapolri, serta Peraturan Kapolri, tidak menawarkan dan memberikan kewenangan apapun kepada Pemda terkait program Polmas khususnya, dan operasional Polri. Ada empat asumsi dasar mengapa Polri tidak menawarkan dan kewenangan apapun kepada Pemda. Pertama, Polri sebagai kepolisian nasional. Hal ini mensiratkan bahwa keberadaan Polri sebagai aparat penegak hukum yang bersifat nasional, dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, apalagi sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 2 tahun 2002 Tentang Polri khususnya Pasal 5 dan 6 tentang susunan dan kedudukan Polri sebagai kepolisian nasional, serta UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda, khususnya Pasal 10 Point 3, tentang pembagian urusan pemerintah. Hal ini sesungguhnya sedikit banyak berlawanan dengan prinsip-prinsip Polmas yang ditegaskan harus terdesentralisasi dan otonomisasi. Dengan dasar hukum tersebut, Polri merasa bahwa bentuk kerja sama dengan Pemda hanya bersifat dukungan saja, dengan kendali program tetap ada di tangan Polri.

Kedua, asumsi bahwa Pemda membutuhkan Polri dalam setiap program pemerintahan yang dicanangkan dan dijalankan. Keberadaan Polri menjadi pelengkap dari berjalan dengan suksesnya program Pemda tersebut. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, keberadaan Polri dengan programnya harus dijadikan salah satu prioritas bagi Pemda untuk didukung. Efek positifnya bagi Pemda adalah kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Akan tetapi asumsi ini secara politis terbantah, karena dalam konteks politik, tidak ada makan siang yang gratis. Apalagi Departemen Dalam Negeri, sebagai ’induk’ dari Pemda-pemda tersebut juga telah menggarisbawahi tentang larangan pemberian bantuan kepada instansi vertikal, termasuk Polri. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan Polri tidak pernah menawarkan suatu hubungan yang bersifat mutualisme; saling menguntungkan antara Depdagri dan Mabes Polri, serta Pemda dengan Polda dan atau Polres terkait.

Ketiga, ada keengganan untuk berbagi tanggung jawab dengan instansi lain, termasuk Depdagri dan Pemda. Hal tersebut menjadi semacam penyakit yang menghinggapi hampir semua kepolisian yang pernah berada satu organisasi dan atau di bawah kendali militer dan atau Departemen Pertahanan. Hal yang sama juga menjadi bagian yang menyulitkan upaya membangun kerja sama dan mencoba berbagi tanggung jawab antara Polri dengan Depdagri dan atau Pemda. Hal ini tercermin dari berbagai Skep Kapolri dan Peraturan Kapolri terkait dengan Polmas yang membatasi bentuk kerja sama Polri dengan Pemda hanya sebatas dukungan tanpa pamrih dari Pemda berkaitan dengan program Polmas. Bentuk koordinasi yang ditawarkan dalam Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2008 Pasal 23 Point C, hanya menjadikan Pemda sebagai bagian dari stake holder yang membutuhkan dukungan keamanan dari Polri dengan program Polmas-nya. Dalam banyak kasus bahkan Pemda diposisikan setara dengan masyarakat, sebagai bagian dari ’obyek’ Polri berhubungan dengan program Polmas.

Keempat, adanya kesadaran semu di internal Polri bahwa hanya Polri dan jajarannya yang dapat menjalankan program Polmas. Hal ini tercermin dari berbagai kerja sama yang dibangun oleh Polri dengan SIP dan KOD-nya dengan pimpinan daerah terkait dengan program Polmas. Berbagai komitmen yang terbangun antara pimpinan SIP dan KOD Polri dengan Pemda seringkali terinterupsi dan akhirnya mentah oleh adanya tour of duty, pergantian pimpinan Polri ditingkat Polda dan Polres, tanpa adanya persetujuan dari Pemda dan DPRD setempat. Hal yang harus digarisbawahi adalah juga bahwa setiap pimpinan Polri yang ditempatkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga kesinambungan kerja sama tersebut juga berhenti pada sebatas kesepakatan, tidak sampai pada implementasi.

Sementara itu dari pihak Pemda sendiri, dukungan yang diberikan oleh para pimpinan daerah terkait dengan program Polri relatif tidak bermasalah, dan bersifat hibah, meski ada larangan dari Surat Edaran Mendagri, Peraturan Mendagri, hingga Peraturan Pemerintah, namun daerah masih memiliki cela untuk membantu Polri. Akan tetap sebagaimana diketahui, bantuan hibah tentu saja bersifat terbatas dan tidak tetap, tergantung keputusan dan dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal. Sehingga kesinambungan dukungan anggaran dari Pemda menjadi bagian yang harus dipikirkan oleh pimpinan Polri. Himbauan kepada para pimpinan Polri di daerah untuk melakukan berbagai pendekatan kepada pimpinan daerah dan DPRD menjadi bagian yang serius dilakukan. Mulai dari Skep Kapolri, Peraturan Kapolri, Surat Perintah Kapolri, Telegram Rahasia, hingga himbauan lisan. Namun demikian, realitasnya kondisi tersebut belum mendapatkan respon yang positif, jikapun ada, cenderung bersifat sektoral dan tidak menyentuh substansi yang diharapkan oleh Mabes Polri di tengah minimnya anggaran dari pos APBN. Agaknya Polri melupakan satu hal yang paling esensi, bahwa setiap keputusan politik terkait dengan kucuran anggaran dari pos APBD tidak selamanya gratis, dibutuhkan timbal balik politik yang membuat kepala daerah dan DPRD akan cenderung memprioritaskan adanya anggaran untuk Polri secara reguler. Tentu saja dengan tetap mendapatkan persetujuan dari Mendagri, sebagaimana yang diatur dalam UU Pemda.

Ada empat asumsi mengapa Pemda tidak secara tegas dan terbuka, serta reguler membantu operasional Polri, khususnya program Polmas, selain karena adanya larangan dari Mendagri yakni: Pertama, hubungan antara Polri, khususnya Polda dan Polres tidak bersifat hierarkis dan tidak ada garis kerja sama yang terikat satu dengan yang lainnya. Pemda secara reguler melapor ke presiden dengan perantara Mendagri, sementara Polda dan Polres langsung ke Kapolri, yang juga di bawah presiden. Hubungan keduanya lebih pada koordinasi dan operasionalisasi di kewilayahan. Sehingga, yang dibutuhkan hanyalah sebatas koordinasi dan komunikasi. Jika pun ada bantuan yang bersifat hibah, disebabkan adanya permintaan dari Polda dan atau Polres terkait dukungan terhadap terpeliharanya keamanan dan ketertiban yang kondusif.

Kedua, tidak adanya keuntungan politik yang bersifat permanen bagi Pemda. Selama ini Polri melihat daerah hanyalah sebatas daerah operasional yang mesti diamankan. Sehingga setiap dinamika pergantian pimpinan Polri di daerah hanya dikoordinasikan kepada pimpinan daerah dalam bentuk pemberitahuan tertulis dan atau lisan. Hampir tidak ada setidaknya Pemda diminta untuk mengusulkan nama terkait dengan pimpinan Polri di daerah. Hal ini makin memperkuat Polri sebagai kepolisian nasional, di satu sisi, disisi lain hal ini mengindikasikan bahwa Polri sebagai kepolisian nasional terkesan kaku, dan kurang lentur. Banyak negara dengan model kepolisian nasional pada praktiknya melibatkan Pemerintah lokal sebagai pemangku kepentingan. Sebut saja misalnya China yang sangat sentralistik, ternyata juga membagi kewenangan kepolisiannya kepada otoritas lokal. Sementara untuk contoh yang lebih demokratis misalnya Inggris, yang menjadikan otoritas lokal sebagai bagian terpenting dalam membangun dan mengembangkan lembaga kepolisiannya. Hingga negara yang paling dekat karakteristiknya dengan Indonesia, philipina, juga membagi kewenangannya kepada otoritas lokal. Efek positifnya tentu saja otoritas lokal akan juga memikirkan bagaimana agar operasional dan kesejahteraan anggota polisi terpenuhi dan menjadi perhatian yang serius.

Ketiga, terbangunnya mekanisme pengawasan yang lebih ketat di tingkat daerah. Hal ini membuat kepala daerah cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan anggaran terkait dengan bantuan dan hibah. Kecenderungan ini pada akhirnya membuat Pemda terkesan pelit dan tidak mengabulkan berbagai permohonan dan pengajuan bantuan anggaran yang datang dari instansi vertikal, termasuk Polri. Banyak kasus, kepala daerah, baik yang masih menjabat ataupun tidak lagi menjabat harus mempertanggungjawabkan pengeluaran anggaran yang berhubungan dengan instansi vertikal.

Keempat, hubungan langsung antara Polri dengan masyarakat, tidak dimulai oleh suatu inisiasi dan pendekatan dari unsur pemerintahan. Sehingga kesan bahwa Pemda hanya sebagai penggembira nampak sekali. Bahkan cenderung Pemda ditinggalkan ketika Polri secara kelembagaan dapat menjalankan program tersebut dengan dukungan lembaga donor. Dalam konteks kerja samapun juga sering terkendala dengan tidak dapat lamanya seorang pimpinan Polri di daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, karena adanya kebijakan Tour of duty, di mana seorang kepala polisi di provinsi dan kabupaten/kota tidak pernah lebih dari tiga tahun menjabat di suatu provinsi dan atau kabupaten/kota. Sehingga bentuk kerja sama terkait dengan program Polmas pada akhirnya tidak efektif. Sebagai institusi politik, Pemda tentu membutuhkan juga pertanggungjawaban politik yang berkesinambungan. Sekedar ilustrasi misalnya seorang Kapolda atau Kapolre yang telah melakukan kesepakatan kerja sama terkait dengan bantuan anggaran dan sarana dan prasarana serta berbagai ijin pemanfaatan lahan dengan pimpinan daerah, kemudian dalam hitungan bulan ke depan berganti dengan pimpinan kepolisian yang baru. Dalam konteks pertanggungjawaban politik hal ini sulit untuk ditemukan benang merahnya. Sementara dalam konteks kepemimpinan juga terkendala karena setiap pemimpin memiliki gaya yang berbeda-beda. Sedangkan yang berhubungan dengan program Polmas sendiri adalah pada langkah keberlangsungan mengawal program ini hingga berjalan dengan baik. Hal ini perlu digarisbawahi mengingat kultur masyarakat juga memegang peranan yang tak kalah penting terhadap berhasil tidaknya program ini.

Asumsi-asumsi tersebut diatas secara politik membatasi hubungan dan kerja sama Polri dengan Depdagri, dan atau dengan Pemda secara langsung berkaitan dengan peran dan tugas Polri umumnya, dan program Polmas khususnya. Hal tersebut menjadi semacam legitimasi yang pada akhirnya menghalangi upaya membangun kerja sama yang lebih strategis. Masing-masing institusi memiliki pakem politik yang pada akhirnya membatasi kreativitas politik. Keterbatasan dan kendala ini pada akhirnya membawa konsekuensi yang serius bagi Polri terkait dengan program Polmas khususnya, maupun Pemda sendiri. Ada empat konsekuensi sebagai akibat belum berjalannya kerja sama yang strategis antara Polri dengan Pemda berhubungan dengan program Polmas, yakni: Pertama, tidak berjalan efektifnya program Polmas, di mana Pemda merupakan salah satu institusi yang harus terlibat aktif dalam pensuksesannya di samping masyarakat, media, dan pengusaha. Hal ini di satu sisi akan menyulitkan Polri dalam penanggulangan masalah kejahatan dan penegakan hukum, di sisi lain, Pemda juga akan disulitkan dengan maraknya Penyakit Masyarakat (Pekat) sebagai ekses negatif dari belum optimalnya program tersebut.

Kedua, stagnasinya pola kerja sama dan koordinasi antara Polri dengan Pemda terkait dengan peran dan fungsi Polri secara umum, dan khususnya Polmas. Stagnasi ini bisa berimplikasi pada keterbatasan ruang gerak Polri, karena minimnya anggaran, dan kemudian cenderung memanfaatkan anggaran off-budget yang bersumber dari aktivitas kriminal seperti perjudian, prostitusi, dan narkoba, baik dimanfaatkan institusi maupun operasional perorangan.

Ketiga, munculnya ego sektoral antara Polri dengan Pemda. Point ini memang belum mengemuka, sebagaimana TNI dan Polri pasca pemisahan. Namun riak-riak yang mengarah kekondisi tersebut mulai muncul, misalnya keterlibatan Polri dalam operasi kependudukan dan pembersihan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang digelar Pemda yang menerjunkan Satpol PP. Dalam berbagai operasi tersebut dalam beberapa kasus kerap bersinggungan, antara upaya menjaga ketentraman dan ketertiban (Tramtib) yang menjadi domain Satpol PP, dengan keamanan dan keteriban masyarakat (Kamtibmas) dan penegakan hukum yang menjadi wewenang Polri.

Keempat, berkembangnya wacana di masyarakat terkait dengan tidak berjalannya koordinasi antara Pemda dengan Polri. Dalam banyak kasus, sesungguhnya interaksi antara Pemda dan Polri dibutuhkan untuk meminimalisir penyimpangan prilaku di masyarakat, baik yang dilakukan oleh oknum Polri,Pemda maupun masyarakt atas nama kedua institusi tersebut. Sekedar ilustrasi misalnya terbentuknya FKPM di beberapa daerah justru dimanfaatkan oleh oknum masyarakat untuk kepentingan pribadi, disamping itu dalam banyak kasus, oknum Polri juga kerap memanfaatkan ketidakmengertian masyarakat tentang konsep dan implementasi Polmas untuk kepentingan sesaat. Hal ini tentu saja dapat diminimalisir jika kerja sama antara Polri dan Pemda berjalan efektif, khususnya pada program Polmas.

III. Model-model Kerja Sama Polri-Pemda

Secara teoretik dan praktik, program Polmas hanya akan menjadi program yang terbatas apabila Polri tidak berupaya menawarkan bentuk kerja sama yang konkret dengan Pemda. Sebab, bagaimanapun Pemda memiliki sumber daya dan kepentingan yang sedikit banyak tidak dimiliki oleh Polri sebagai institusi nasional. Setidaknya ada tiga hal yang dimiliki oleh Pemda terkait dengan keberhasilan program Polmas bila mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004, yakni: anggaran, sarana dan prasarana, serta perijinan pemanfaatan lahan.

Pada point pertama, sebagaimana diketahui bahwa kebijakan Otonomi Daerah membuat kepala daerah dan DPRD memiliki kewenangan yang luar biasa dalam memutuskan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan daerahnya. Hal yang mana termasuk juga terkait dengan anggaran. Sebagai institusi nasional, Polri hanya terbatas menerima anggaran dari pos APBN, jikapun ada bantuan yang bersifat hibah dari pos APBD dan bantuan masyarakat sifatnya tidak tetap dan terbatas. Apalagi harus diakui bahwa anggaran untuk Polri dari pos APBN hanya memenuhi kebutuhan rutin dan operasional sebesar 40 hingga 60 % dari kebutuhan anggaran. Meski harus diakui bahwa anggaran Polri dari tahun ketahun mengalami kenaikan. Bahkan pada anggaran tahun 2009, anggaran Polri naik hingga 11 % dari anggaran tahun sebelumnya (lihat Tabel 1). Akan tetapi kenaikan anggaran tersebut juga dibarengi dengan kenaikan jumlah anggota Polri yang mencapai angka 400 ribu personil. Hal ini tentu saja pengaruhnya tidak begitu terasa, apalagi dari anggaran tersebut juga diperuntukkan untuk pengembangan unit Anti teror, Densus 88 AT, yang juga didanai oleh negara donor seperti Amerika Serikat dan Australia. Sehingga angka pemenuhan anggaran dari pos APBN belum beranjak dari angka 40-60 % dari total kebutuhan. Hal ini berpengaruh pula pada akselarasi program Polmas. Tentu saja berharap dari partisipasi masyarakat dan pengusaha terkait pembiayaan operasional Polmas hanya akan terbatas di daerah perkotaan dan wilayah industri. Sementara untuk pengembangan program Polmas di pedesaan dan daerah lainnya, maka dukungan Pemda menjadi sangat dibutuhkan.

Karena itulah partisipasi Pemda dalam pembiayaan operasional Polri, khususnya di wilayahnya menjadi sangat penting. Setidaknya bisa sedikit mengurangi tingkat penyelewengan wewenang dan mempercepat implementasi program Polmas. Sedangkan Pemda ikut diuntungkan karena akan kondusifnya wilayahnya dari berbagai aktivitas kriminal.

Sedangkan terkait dengan sarana dan prasarana, Pemda memegang peranan yang sangat strategis terkait dengan pemanfaatan fasilitas publik seperti balai desa. Tentu saja akan lebih terlegitimasi apabila program tersebut tidak hanya berdasarkan pada perijinan kepala desa atau lurah setempat, namun merupakan program yang terintegral dengan pembangunan wilayah. Hal ini berarti akan membuat program tersebut berjalan beriringan dengan esensi pembangunan kewilayahan yang menjadi konsern Pemda. Artinya meskipun ada unsur partisipasi masyarakat dan pengusaha terkait pengembangan sarana dan prasarana, sekecil apapun peran Pemda harus dilibatkan.

Berkaitan dengan perijinan pemanfaatan lahan, juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya peran Pemda, karena pemanfaatan lahan bagi pos polisi dan balai FKPM yang hendak dibangun oleh Polri dengan bantuan pengusaha dan atau partisipasi masyarakat tetap membutuhkan ijin pemanfaatan lahan oleh Polri terkait dengan program Polmas. Tanpa ijin tersebut, keberadaan pos polisi dan balai FKPM yang dibangun khusus untuk program Polmas akan mendapatkan masalah dikemudian hari, terkait dengan pemanfaatan lahan dan kemungkinan perijinan mendirikan bangunan, seperti IMB dan lain sebagainya. Sehingga melibatkan Pemda dalam konteks tersebut menjadi sangat strategis.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dibutuhkan satu rangkaian kerja sama yang bersifat mengikat antara Pemda dan Polri dalam menyukseskan program Polmas. Nilai strategis yang didapat akan melapangkan jalan bagi Polri untuk kerja sama dalam konteks yang lebih luas dengan Pemda. Pada Gambar 1, terdapat Segitiga Polmas, yang mengkaitkan antara Polri, Pemda, dan masyarakat. Segitiga Polmas dimaksudkan untuk mempertegas hubungan kerjasama antara Polri, Pemda, serta masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Segitiga Polmas di maknai sebagai sebuah kesinambungan sebuah program yang tanpa ketiga elemen itu, maka program tersebut tidak akan berjalan maksimal.

Perlu digarisbawahi bahwa keberadaan organisasi donor, pengusaha, serta media merupakan suplemen dalam pensuksesan program Polmas. Khusus organisasi donor bahkan dapat disebut sebagai penginisiasi awal yang bersifat sementara. Sementara pengusaha dan media harus dipandang sebagai pendukung dari proses berjalannya program Polmas. Keberadaan pengusaha dan atau yang mengelola pertokoan, pabrik, dan lain sebagainya yang membantu pembiayaan pembangunan pos polisi dan atau Balai FKPM merupakan bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam mensukseskan program Polmas. Dalam Gambar 1 tersebut masyarakat menjadi lanskap dari program Polmas dengan Polri dan Pemda sebagai bagian dari pendukung utama. Selama ini, dari berbagai Skep Kapolri, Peraturan Kapolri, hingga Telegram Rahasia (TR) Kapolri inisiasi program ada dalam lingkup Polri, dengan memosisikan masyarakat sebagai ’obyek’ dan Pemda sebagai pelengkap saja. Dalam konteks ideal, kedepannya masyarakat diharapkan akan memegang peranan yang sangat strategis, dengan Polri dan Pemda sebagai penyelia. Artinya bila mengacu pada Gambar 1 tersebut di atas, perlu ada perubahan paradigma tentang program Polmas di internal Polri, selain melibatkan masyarakat dan Pemda secara aktif. Kesetaraan peran dan fungsi antara tiga aktor; Polri, Pemda, dan masyarakat harus dipraktikkan secara utuh oleh Polri sebagai penginisiasi program, tidak hanya secara teoretik tertulis dalam berbagai program kebijakan yang ada selama ini. Artinya akan ada semacam langkah berikutnya dari program yang dibuat oleh Polri untuk kemudian dijalankan secara mandiri oleh masyarakat dengan tetap disupervisi oleh Polri bersama Pemda.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dibutuhkan model kerja sama antara Polri dan Pemda berkaitan dengan program Polmas. Ada lima model dengan berbagai persyaratan yang mengikutinya yang dapat diimplementasikan oleh Polri dan Pemda, yakni: Pertama, model yang diadopsi oleh Polri dengan melakukan himbauan kepada pimpinan SIP dan KOD di Polda dan Polres untuk menjalin kerja sama dengan Pemda berkaitan dengan program Polmas maupun secara umum tugas Polri. Model ini sesungguhnya dapat dijalankan dengan minimum program. Dalam pengertian bahwa model ini dapat berjalan dengan memosisikan Polri sebagai penegak hukum semata, dalam konteks polisi tradisional, bukan mengedepankan program Polmas yang lebih strategis dan merubah paradigma polisi dan masyarakat. Bisa jadi model ini sukses ketika pendekatan kepolisian tradisional masih dipraktikkan, namun sulit sekali dapat mendukung program Polmas. Karena model ini tidak memiliki efek politis yang mengikat satu dengan yang lain, antara kepala daerah dan pimpinan Polri di SIP maupun KOD, sifatnya hanya hubungan baik antara pimpinan kedua instansi tersebut, serta hanya bersifat hibah. Dan dapat dilihat dan dirasakan oleh Polri bagaimana keberhasilan pendekatan model ini tergantung pada pendekatan dan komunikasi politik pimpinan SIP dan KOD kepada Pemda, itupun tidak terukur, dan sangat besar kemungkinannya untuk disalahgunakan, karena bersifat personal dan tertutup.

Kedua, model Pendekatan Non-birokrasi. Model ini juga telah dipraktikkan oleh Polri sejak program Polmas pertama kali diluncurkan. Hampir di setiap Skep Kapolri, dan Peraturan Kapolri ditegaskan pentingnya pelibatan Pemda dalam mensukseskan program Polmas. Dengan difasilitasi organisasi donor seperti IOM, JICA Foundation, Asia Foundation, Partnership, dan lain sebagainya Polri mengadakan perjanjian kerjasama (MoU) dengan Pemda berkaitan dengan Polmas. Akan tetapi sekali lagi terbentur pada aturan legalitas politis antara Polri dan Pemda. Sehingga yang dapat dibantu oleh Pemda hanya pada penyediaan sarana dan prasarana yang memanfaatkan Balai Desa dan atau Ruang Rapat miliki Pemda sebagai tempat rapat dan sekretariat FKPM, maupun ijin pemanfaatan lahan dalam pendirian pos polisi, dan atau balai FKPM. Untuk pendanaan, sekali lagi terbatas pada bantuan hibah yang bersifat tidak mengikat dan dengan jumlah yang terbatas.
Permasalahan dalam model ini masih terkait pada ’Polri Centris’ terkait dengan konsep dan pelibatan secara terbuka dari Pemda masih dibatasi pada operasionalisasi di lapangan Dengan model inipun Polri masih dapat mengklaim bahwa program Polmas berjalan dengan baik di beberapa provinsi, dengan dukungan lembaga donor. Beberapa provinsi yang telah cukup banyak berdirinya FKPM adalah Sumatera Utara, Lampung, Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan lain sebagainya.

Ketiga, Model Kerja Sama Terbuka antara pimpinan Polri dan kepala daerah. Model ini selangkah lebih maju dari model kedua, namun secara terbuka Polri bersedia melakukan koordinasi dan pelaporan pemanfaatan anggaran yang didapat dari APBD, setiap tahunnya, dengan tetap menitikberatkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran oleh kepala daerah. Hal ini dilakukan guna mensiasati sejumlah aturan yang terdapat pada UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda. Sebagai polisi nasional, pertanggungjawaban pimpinan polri di daerah secara hierarkis kepada Kapolri dan kemudian kepada eksekutif.

Pada model ini juga ditekankan akan pentingnya pimpinan Polri menjabat setidaknya tiga tahun di setiap Polda dan Polres. Hal ini akan mempererat bentuk kerja sama dengan pimpinan daerah dan DPRD setempat. Sebab, keengganan pimpinan daerah melakukan kerja sama yang bersifat terbuka dengan pimpinan Polri di wilayahnya, karena masa jabatannya tidak jelas berakhirnya, dan terkena aturan Tour of Duty yang ditetapkan Mabes Polri, serta ketidaksediaan Polri untuk mempertanggungjawabkan atau setidaknya melaporkan pemanfaatan anggaran yang berasal dari pos APBD.

Keempat, Model Kerja sama Mabes Polri dan Depdagri. Model ini secara kelembagaan relatif ideal, karena memberikan kesempatan kepada Depdagri sebagai ’induk’ dari Pemda-pemda untuk menegoisasikan pola hubungan yang bersifat mutualisme; saling menguntungkan dengan Mabes Polri. Dengan berbagai kewenangan yang dimiliki oleh Pemda, maka posisi tawar Pemda harus dilihat lebih tinggi baik oleh Mabes Polri maupun Depdagri. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kewenangan Polri yang di-share kepada Pemda, minimal pada dua hal yakni: Satu, Pemda dan DPRD diberi kewenangan untuk mengajukan calon pimpinan kepala Polri di wilayahnya, baik di tingkat Polda (SIP), Polwil/Polwiltabes, dan Polres (KOD). Kapolri, melalui mekanisme internalnya dapat menggodok usulan tersebut dengan memperhatikan sosiologis kewilayahan, maupun prinsip ”local boy for local job”. Dua, adanya mekanisme pertanggungjawaban kinerja dan pemanfaatan anggaran kepada Pemda dan DPRD, selain kepada pimpinan Polri. Mekanisme pertanggungjawaban ini juga akan dijadikan rujukan bagi pimpinan daerah untuk membuat rekomendasi kepada Mabes Polri terkait dengan kinerja yang bersangkutan selama memimpin di wilayahnya. Dengan dua hal tersebut, setidaknya Mabes Polri mendapatkan berbagai masukan tanpa harus kehilangan esensinya sebagai kepolisian nasional.

Kelima, Model pelibatan eksekutif, dalam hal ini Presiden untuk mengeluarkan legalitas setingkat Keputusan Presiden (Keppres) untuk mendorong Polri dan Depdagri untuk membicarakan berbagai kemungkinan kerja sama, koordinasi, hingga pada pelimpahan sebagian wewenangnya untuk suksesnya program-program Polri, dan khususnya Polmas. Keppres ini dibutuhkan untuk ’memaksa’ kedua institusi tersebut melakukan pembicaraan yang bersifat strategis. Sebagai pembantu presiden, Mendagri dan Kapolri seharusnya patuh untuk menjalankan apa yang menjadi kebijakan eksekutif, dengan catatan kedua institusi tersebut mendapatkan keuntungan dari proses yang ada. Keberadaan Keppres juga diasumsikan untuk tidak perlu melakukan revisi terhadap undang-undang yang ada, apalagi sampai mengubah status masing-masing institusi.
Dengan adanya Keppres tersebut keberadaan program Polmas tidak lagi menjadi ’Polri centris’ tapi merupakan kombinasi dari sentuhan kedua institusi tersebut. Bisa juga ditegaskan secara konseptual dan kesediaan SDM Polri lebih siap, sehingga Pemda hanya akan memastikan bahwa program ini dapat berjalan sebagaimana harapan Polri dengan adanya supervisi yang lebih ketat dan terukur, hingga masyarakat secara utuh lebih siap dalam menjalankan fungsi pemolisiannya di lingkungan masing-masing.

IV. Penutup

Berhasil tidaknya program Polmas tidak hanya menjadi tanggung jawab Polri semata; yang secara institusi memiliki kepentingan untuk mengubah paradigma di internal dan di masyarakat terkait dengan pengamanan lingkungan. Program tersebut juga pada akhirnya juga melibatkan Pemda. Hal ini disebabkan karena Pemda mendapatkan manfaat secara langsung terkait dengan berhasil-tidaknya program tersebut. Beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Pemda harus dimanfaatkan oleh Polri demi suksesnya program tersebut. Dan tentu saja tidak gratis, ada berbagi kewenangan yang mengikut keduanya untuk duduk bersama dan memastikan program tersebut berjalan dengan baik. Di satu sisi, Polri memiliki konsep dan SDM yang relatif lebih siap, namun minim sarana dan prasarana, serta anggaran operasional yang terbatas. Sedangkan di sisi lain Pemda memiliki anggaran dari pos APBD, sarana dan prasarana, serta kewenangan dalam memberikan pemanfaatan lahan yang bisa mendukung suksesnya program Polmas, dan program-program Polri lainnya di masa yang akan datang.

Dan bola panas tersebut ada di tangan Polri, masalahnya apakah Polri bersedia membagi kewenangannya kepada Pemda untuk suksesnya program Polmas, atau masih mengedepankan ego kelembagaannya untuk tetap tidak beranjak dari tawaran yang termakhtub dalam Skep Kapolri dan Peraturan Kapolri? Di mana tetap memosisikan lembaga dan institusi lain hanya sebagai pelengkap dari setiap program Polri, umumnya dan program Polmas khususnya. Bila yang kedua dipilih Polri, maka hampir dipastikan implementasi Polmas di Indonesia hanya akan terbatas pada wacana dan terbelenggu oleh berbagai keterbatasan.

January 7, 2010 in Hankam